TAPD Kutim Tegaskan Hanya Dipanggil Sebagai Saksi Terkait Kasus Dugaan Korupsi RPU

Kaltim, Kutai Timur503 Dilihat

SANGATTA – Pemerintah Kabupaten Kutai Timur (Pemkab Kutim) meluruskan pemberitaan terkait dugaan tindak pidana korupsi proyek Rice Processing Unit (RPU) senilai Rp24,9 miliar yang kini ditangani Polda Kalimantan Timur (Kaltim). Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kutim Ade Achmad Yulkafilah, menegaskan bahwa pemanggilan dirinya dan Sekretaris Kabupaten (Seskab) Rizali Hadi oleh penyidik semata-mata dalam kapasitas sebagai saksi.

Klarifikasi ini disampaikan dalam konferensi pers di Kantor Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kutim, Selasa (2/9/2025). Hadir pula Seskab Rizali Hadi, Kabag Hukum Setkab Kutim Januar Bayu Irawan , Kepala Bapenda Syahfur, Asisten Bidang Ekonomi dan Pembangunan Seskab Kutim Noviari Noor yang juga Plt Kepala Bappeda, serta sejumlah pejabat lainnya.

“Hanya Pak Sekda (Rizali Hadi) saja yang diberitakan sama saya di dalam berita itu. Padahal yang dipanggil bukan cuma kami berdua. Semua anggota TAPD dipanggil, termasuk Bappeda, Bapenda, sampai bagian hukum. Tapi yang ditampilkan seolah-olah hanya kami yang bermasalah,” kata Ade.

Ade menegaskan bahwa TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah) hanya berfungsi dalam perencanaan dan pembahasan anggaran, bukan pelaksana teknis pembangunan. Karena itu, ia menolak anggapan bahwa TAPD mengetahui secara detail proyek RPU.

“Coba tanya ke pihak pelaksana kenapa ini bermasalah. Kami di TAPD tidak pernah tahu RPU itu apa, mau dibangun di mana, dan seperti apa bentuknya. Yang kami tahu hanya program kemandirian pangan. Detail kegiatannya domain SKPD (kini Perangkat Daerah/PD) pelaksana,” tegasnya.

Menurut Ade, pemberitaan yang menampilkan foto dirinya dan Seskab memberi kesan keliru.

“Kami dipanggil sebagai saksi ya harus datang. Kalau tidak datang, justru salah. Jadi jangan sampai masyarakat salah paham,” ujarnya.

Kabag Hukum Setkab Kutim Januar Bayu Irawan memperkuat pernyataan tersebut. Ia menegaskan Pemkab Kutim menghormati penuh proses hukum.

“Ketika dipanggil harus hadir. Jika sampai tiga kali tidak hadir, tentu akan ada tindakan paksa. Sebagai pemerintah, kami wajib mendukung penyidikan. Biasanya kalau ada surat dari kepolisian atau kejaksaan, kami selalu tindak lanjuti,” jelasnya.

Januar menambahkan, bukan hanya TAPD yang dipanggil penyidik, tetapi juga Badan Anggaran (Banggar) DPRD Kutim hingga sejumlah perangkat daerah.

“Posisi kami hanya saksi. Ini penting diklarifikasi agar publik tidak salah menilai,” tegasnya.

Ia menyebut inti persoalan dugaan kasus RPU terletak pada kontrak pelaksanaan. Indikasinya diduga ada di pelaksanaan kontrak yang tidak sesuai.

“Kalau kami dipanggil, itu semata untuk mempermudah proses hukum, bukan berarti kami terlibat sebagai pelaksana,” ujar Januar.

Kasus RPU mencuat setelah penyidik Polda Kaltim menemukan perbedaan mencolok dalam nilai anggaran. Berdasarkan dokumen, pagu awal proyek tercatat Rp31,2 miliar dalam RKPD-P. Namun dalam Kebijakan Umum Perubahan Anggaran-Perubahan (KUPA-P), anggaran melonjak menjadi Rp41,1 miliar. Dari jumlah itu, Rp24,9 miliar dialokasikan khusus untuk pembangunan RPU.

Penyidik menduga kenaikan itu tidak lepas dari peran pihak tertentu sejak awal pembahasan anggaran. Karena TAPD menjadi pintu masuk pembahasan, Seskab dan Kepala BPKAD dimintai keterangan lebih rinci. Proses hukum ini telah dinaikkan ke tahap penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor SP sidik/S 1.1/151/VI/RES.3.3./2025/Ditreskrimsus tertanggal 23 Juni 2025. Hingga kini, penyidik sudah memeriksa TAPD, Kepala Dinas Ketahanan Pangan, hingga unsur Banggar DPRD Kutim.

Pemkab Kutim berharap media menyajikan informasi secara proporsional. “Kami dipanggil sebagai saksi, bukan tersangka. Jangan sampai masyarakat salah persepsi,” kata Ade.

Januar Bayu menambahkan, hak jawab ini penting agar posisi Pemkab tidak disalahpahami publik.

“Kami mendukung penuh proses hukum. Tapi jangan ada kesan seolah-olah pejabat TAPD yang melaksanakan proyek. Itu keliru,” tuturnya.

Proyek RPU merupakan bagian dari program penyediaan infrastruktur pendukung kemandirian pangan dengan total anggaran Rp40,1 miliar. Proyek ini dirancang untuk memperkuat ketahanan pangan daerah, namun kini justru tersandung dugaan penyimpangan anggaran.

Hingga kini, Polda Kaltim belum menetapkan tersangka. Proses pemeriksaan masih berfokus pada pengumpulan keterangan dan analisis dokumen anggaran. Publik pun menunggu transparansi penuh agar kasus ini tidak hanya berhenti pada opini, tetapi menghasilkan kejelasan hukum. Kejelasan dan penegakan hukum yang adil diharapkan dapat memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah. (*)