SANGATTA – Meskipun terdapat sisa lebih pembiayaan anggaran (Silpa) senilai Rp1,7 triliun di tahun 2023, ternyata dana tersebut tidak bisa untuk membayar utang proyek tahun 2022 dan 2023 yang masih menggantung. Hal ini diungkapkan oleh Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kutai Timur (Kutim) Asti Mazar.
“Tahun lalu memang ada silpa sekitar Rp1,7 triliun. Tapi utang tahun 2022 saja, masih ada yang belum terbayar,” ujar Asti saat ditemui di ruang kerjanya belum lama ini.
Ia menjelaskan bahwa di salah satu SKPD, terdapat utang senilai Rp15-30 miliar yang belum terbayarkan. “Seharusnya, secara logika, karena pekerjaan sudah selesai, seharusnya bisa dibayar, tapi ini tidak. Makanya kami akan tanya, kenapa seperti itu, apa masalahnya, sementara uang ada,” jelas Asti.
Keterlambatan pembayaran utang proyek ini memicu kekhawatiran dari para kontraktor. Asti mengaku sering ditanya oleh kontraktor terkait dengan utang ini. “Saya sering ditanya kontraktor apa bisa dibayar atau tidak,” katanya.
Situasi ini menjadi sorotan tajam dari DPRD Kutim. Asti mempertanyakan kinerja SKPD dalam mengelola proyek dan anggaran. “Setiap keterlambatan proyek, kalau ditanya, selalu alasan mereka SDM terbatas, kurang, baik jumlah, ataukah termasuk juga kompetensi,” kritiknya.
Ia juga menyinggung kebiasaan kepala SKPD yang tidak menghadiri rapat dengar pendapat dengan alasan dinas luar (DL) dan lain sebagainya. “Jika dikatakan kurang kompetensi, personil, kenapa tidak tambah. Kalau tidak kompeten, karena harus bersertifikasi, pertanyaanya, kan setiap tahun selalu Bimbingan Teknis (Bimtek). Ini jadi masalah,” tegas Asti.
DPRD Kutim berencana untuk mempertanyakan utang proyek ini kepada dinas terkait dalam rapat dengar pendapat. “Kami akan tanya, kenapa seperti itu, apa masalahnya, sementara uang ada,” kata Asti.
Asti berharap agar SKPD segera menyelesaikan pembayaran utang proyek tersebut. “Jangan sampai utang proyek ini menjadi beban baru bagi pemerintah daerah dan kontraktor,” harapnya. (j/ADV)