SANGATTA. Dugaan korupsi pengadaan solar cell di Dinas Pendidikan Kutai Timur (Kutim) Tahun 2020 lalu, nampaknya makin jelas. sebab dari hasil perhitungan kerugian negara yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Kaltim, ditemukan kerugian negara senilai Rp16,6 miliar dari total nilai proyek sebesar Rp24 miliar.
“Hasil perhitungan kerugian negara atas dugaan korupsi pengadaan solar cell di Disdik Kutim, sudah keluar. Nilai kerugianya Rp16,6 miliar lebih. Hanya saja, ada saksi yang telah mengembalikan dana Rp2,4 miliar,” Kata Kejari Kutim Romlan Robin melalui Kasi Pidsus Kejari Kutim Michael A F Tambunan.
Meskipun kerugian negara sudah diketahui, namun Tambunan mengatakan belum ada penetapan tersangka. Sebab sebelum penetapan tersangka, pihaknya terlebih dahulu akan mengadakan ekspose kasus tersebut, untuk menetapkan siapa tersangkanya.
Hanya saja, diakui memang sudah ada gambaran siapa calon tersangkanya, yang akan mempertenggungjawabkan kerugian nagera tersebut, diantara para saksi yang pernah dipanggil. “Tunggu saja hasil eksposenya, siapa diantara saksi itu naik jadi tersangka,” katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Kejari Kutim sedang melakukan penyidikan pengadaan solar cell di Dinas Pendidikan Kutim tahun anggaran 2020. Dimana kasus ini secara keseluruhan, pagu anggarannya Rp 80 miliar, sementara khusus pengadaan solar cell adalah Rp 24 miliar, sisanya untuk pengadaan tempat sampah, tas dan lainya .
Berdasarkan hitungan awal, khusus pengadaan solar cell, penyidik menduga kerugian Negara sekitar Rp19 miliarnamun berdasarkan hitungan BPKP, ternyata hanya Rp16,6 miliar.
Modus korupsi dalam kasus ini adalah, dari hasil pemeriksaan saksi-saksi dijelaskan, anggaran Rp24 miliar dijadikan per paket dengan nilai anggaran Rp190–200 juta, untuk menghindari pelelangan dan dapat dilakukan penunjukan langsung.
Jumlah paket kegiatan sudah diplot, dikuasai oleh beberapa orang yang sudah ditentukan untuk menjadi pelaksana atau rekanan pekerjaan dengan sistem penunjukan langsung. Penyusunan harga perkiraan sendiri (HPS) dilakukan tidak berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku alias penggelembungan harga. (*/jn)