Alih Fungsi Lahan, Proses Perizinan Masa Lalu Jadi Salah Satu Penyebab Overlapping

Kutai Timur832 Dilihat

Sangatta…Pertumbuhan penduduk dan pengembangan wilayah, menyebabkan terjadinya perubahan fungsi dan tata ruang pada sebuah daerah. Lahan-lahan produktif yang tersedia untuk pertanian serta pengembangan sektor pangan, lambat laun berubah fungsi dan wujud menjadi area perkebunan, pertambangan, kawasan industri dan juga pemukiman penduduk. Karenanya tidak heran, jika sepanjang 20 tahun perjalanan rencana pembangunan jangka panjang sebuah daerah, terjadi 2-3 kali review dan revisi tata ruang wilayah sebuah daerah. Demikian diungkapkan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kutai Timur (Kutim), Edward Azran saat ditemui awak media di ruang kerjanya, belum lama ini.

Dikatakan, penggunaan ruang wilayah sangat cepat prosesnya dalam setiap tahun. Contohnya saja kondisi perkebunan sawit yang ada di Kutim. Di saat, rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kutim di susun, jumlah area kebun sawit di Kutim kurang lebih hanya 150.000 hektar. Namun saat ini perkebunan sawit di Kutim luasannya sudah mencapai 300.000 hektar.

“Belum lagi dengan adanya pertambangan dan pemukiman penduduk yang semakin pesat berkembang. Mau tidak mau, pemerintah harus kembali melakukan penyesuaian tata ruang wilayah. Namun wajar saja jika dalam waktu 20 tahun perjalanan RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang, red) wilayah, akan ada dua hingga tiga kali review dan revisi tata ruang wilayah”. sebut Edward.

Selain itu, Menurut Edward sebenarnya pemerintah memiliki komitmen untuk tidak merubah atau mengalihfungsikan lahan-lahan yang bersifat produktif dan memang sudah diatur dalam Undang-undang. Namun dalam kenyataan dan aplikasi di lapangan, alih fungsi lahan tersebut tetap terjadi dan kerap mengantarkan pejabat publik yang memiliki kewenangan dalam mengubah fungsi lahan tersebut, akhirnya berhadapan dengan penegak hukum.

“Padahal, jika merujuk pada aturan perundang-undangan, maka pemerintah diminta berkomitmen untuk tidak merubah fungsi lahan-lahan yang bersifat produktif, seperti lahan pertanian dan pengembangan pangan. Namun pada kenyataannya di lapangan, banyak yang berubah,” jelasnya.

Selain permasalahan overlapping izin lahan, Edward menambahkan jika penarikan kewenangan pemerintah daerah ke tingkat pemerintah provinsi, juga menjadi permasalahan tambahan. Dengan adanya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, mencabut sebagian kewenangan startegis yang semula dimiliki oleh pemerintah daerah, beralih dikendalikan oleh pemerintah provinsi.

“Lahirnya Undang-undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, membuat kewenangan yang semula dimiliki oleh pemerintah daerah kemudian ditarik menjadi kuasa pemerintah provinsi. Hal ini (penarikan kewenangan, red) juga menjadi permasalahan serius bagi Pemda (Pemerintah Daerah, red). Karena sebagian besar yang terkait perizinan strategis, harus diselaraskan oleh provinsi, termasuk RTRW. Karenanya, jika KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi, red) protes bahwa izin yang dikeluarkan melebihi luasan pulau yang ada, maka wajar saja. Karena yang dikelola lahannya ada yang di bawah tanah, ada yang di atas tanah dan ada yang di tengah-tengah tanah. Mungkin hanya yang di udara saja yang tidak diberikan izinnya,” beber Edward.