Sangatta…Indonesia merupakan negara dengan pengidap tuberculosis (TBC) kedua tertinggi di Dunia. Kasus ini merata di Indonesia, tak terkecuali di Kutim. Di Kutim sendiri, saat ini ada ribuan penderita TBC, dimana empat diantaranya adalah sudah Multi Drug Resisten (MDR). MDR ini, termasuk sudah kebal obat, sehingga harus dengan obat dosis tinggi, dan pengobatan lama. Tiap jam, 11 orang meninggal di Indonesia, gara gara TBC, namun kurang viral dibanding Corona. Demikian dikatakan Kadiskes Kutim dr Bahrani Hasanal.
“Kalau di kesehatan, TBC ini juga sangat massif, tapi kurang perhatian, karena korbannya lambat meninggal,” katanya.
Diakui, meskipun korbannya sangat banyak, tapi kasus corona, yang kini jadi perhatian semua pihak.
“Jadi, ini juga seharusnya jadi perhatian besar, terutama masyarakat. Sebab, kalau kasus ini tidak tertanggulangi, maka ke depan korbannya makin besar,” katanya.
Menurutnya, yang membuat kasus ini kurang maksimal penangannanya adalah karena tenaga perawat yang khusus menagani di Puskesmas-puskesmas, tidak fokus. Sebab mereka masih menangani bebagai kegiatan lain, sehingga tidak bisa maksimal.
“kalau kami mau tambah tenaga, sulit, karena anggaranya kurang. Sementara, kalau dibiarkan seperti ini, maka ke depan akan makin banyak yang tertular, sementara pasien MDR, juga akan makin besar,” katanya.
Dijelaskan, pengobatan TBC, untuk tahap pertama, jika tuntas dalam enam bulan, itu pasti akan sembuh. Namun yang jadi kendala selama ini adalah setelah pasien makan obat satu atau dua bulan, karena sudah merasa enak, sehat, maka berhenti makan obat. Padahal, pengobatan itu harus tuntas hingga enam bulan. Sebab jika tidak tuntas, maka untuk pengobatan saat kembali kambu atau status MDR, maka pengobatannya akan makin lama. bisa hingga dua tahun. Obatnya juga harus dengan dosis tinggi.
“Masyarakat ini biasannya kurang peduli berobat. Padahal, kalau mereka peduli, akan lebih baik, apalagi karena obat juga gratis. Padahal, kalau mereka berobat dengan biaya sendiri, biayanya akan sangat berat, bahkan tidak banyak yang sanggup membiayaai dirinya. Tapi, mungkin karena lambatnya korban meninggal, sehingga banyak diabaikan masyarakat, sementara corona, dengan Demam Berdara, hanya dalam hitungan minggu, orang sudah meninggal sehingga kini ditakuti,” katanya.