SANGATTA. Puluhan orang dari berbagai serikat buruh, termasuk kesatuan mahasiswa, melakukan demo menolak rancangan UU Omnibus law. Bukan hanya dijalanan, mereka bahkan menyuarakan aspirasi mereka sampai ke DPRD Kutim. Mereka diterima oleh tiga anggota DPRD Kutim antara lain Maswar Se, dari komisi D, David Rante STH serta Basti Sangga Langi.
Dalam pertemuan yang berlangsung di Ruang Panel Kantor DPRD Kutim, Alek Bajo, dari GMNI, meminta agar anggota DPRD Kutim memperjuangka aspirasi pekerja. Sebab, rancangan UU Omnibus law, sama sekali tidak memiliki keberpihakan terhadap pekerja. Bahkan, dapat dikatakan, hak buruh, banyak yang dihilangkan.
“karena itu, kami meminta agar DPRD Kutim memperjuangkan agar rancangan UU Omnibus Law ini, ditolak. Bukan hanya pekerja dari Kutim yang tolak, tapi penolakan dilakukan serentak di Indonesia,” katanya .
Dalam kesempatan itu, para pendemo juga membagi-bagikan selebaran dengan berbagai logo serikat buru yang ada di Kutim, yang berisi 6 hal mendasar sebagai target Omnibus Law, sehingga patut ditolak. Diantaranya adalah, pertama, menghilangkan upah minimum. Sebab, pekerja yang bekerja selama 40 jam seminggu, maka masuk dalam upah perjam. Ketika pekerja sakit, menjalankan ibadah sesuai kewajiban agamanya, cuti melahirkan. Maka upahnya tidak lagi dibayar kerena pada saat itu dianggap tidak bekerja.
Dua, menghilangkan pesangon. Menko Perekonomian menggunakan istilah baru dalam omnibus law, yakni tunjangan PHK, yang besarnya mencapai 6 bulan upahnya.
Ketiga, lapangan kerja yang tersedia, berpotensi diisi tenaga kerja asing (TKA) unskil (kemampuan rendah).
Ke empat, adanya fleksibilitas pasar kerja. Dimana, penggunaan outsourcing dan buruh kontrak diperluas. Fleksibilitas pasar kerja ini, tidak adanya kepastian kerja dan pengangkan karyawan tetap (PKWTT). Dalam hal ini, outsourcing dibebaskan semua lini sektor produksi.
Lima, jaminan sosial terancam hilang. Sebab, bagaimana mau mendapatkan jaminan pensiun, jika pekerja setiap tahun berpindah pekerjaan dan hanya mendapatkan upah selama beberapa jam saja dalam sehari yang besarnya dibawah upah minimum.
Dan terakhir, adalah, hilangnya sanksi pidana bagi pengusaha, yang tidak menjalankan kewajibannya bagi pekerja. Ini berbeda dengan, UU 13/2003 memberikan yang memberikan sanksi pidana bagi pengusaha yang tidak membayar hak-hak dasar buruh.