Atasi Sengketa Lahan di Kutim – Pemkab Segera Bentuk Tim Terpadu Mediasi Konflik

SANGATTA –  Pemerintah Kabupaten Kutai Timur ( Pemkab Kutim) bekerjasama dengan GIZ, lembaga nirlaba dari Jerman akan menyusun matriks penyelesaian konflik agraria atau sengketa lahan terutama di sektor pertanian dan perkebunan di Kutim. Hal ini menyikapi masih banyaknya konflik lahan yang terjadi hingga saat ini.

Menyikapi hal tersebut, Kepala Bagian Pemerintahan, Joko Suripto mewakili Pemkab Kutim menyebutkan segera menyusun matriks penyelesaian konflik pertanahan dan membentuk Tim Terpadu Penanganan Gangguan Usaha dan Konflik Perkebunan Pertanian dengan melakukan pelatihan dan on job training  mediator bersertifikasi dari Mahkamah Agung RI (MA RI) sebanyak 30 orang dari lintas organisasi perangkat daerah.

“Pemkab Kutim akan menyusun road- map mediasi sengketa lahan ini dan melatih 30 orang untuk menjadi mediator yang bersertifikat dari MA RI. Jadi tim terpadu ini menjadi pintu masuk penyelesaian sengketa lahan terutama sektor perkebunan dan pertanian. Pelatihannya rencana 23-28 September 2019 oleh lembaga mediator yang berlisensi nasional,” jelas Joko saat memimpin rapat penyusunan matriks penyelesaian konflik lahan di ruang Arau,Kantor Bupati,Rabu (4/9/2019)

Tugas utama tim terpadu ini berusaha menyelesaikan konflik melalui jalur mediasi antar pihak yang bersengketa.

“Harapannya tentu supaya penyelesaiannya ditempuh dengan musyawarah mufakat dan “win- win solution” tidak perlu sampai ke jalur hukum dimana waktu penyelesaiannya bisa lama (bertahun-tahun) dan memakan biaya yang cukup besar,” jelas Joko.

Sementara itu, Advisor for Stakeholder Engagement dari GIZ, Asman Azis menyebutkan bahwa sengketa lahan yang terjadi saat ini bukan hanya antar warga saja, melainkan juga terjadi antara warga dengan perusahaan, perusahaan dengan perusahaan bahkan perorangan atau perusahaan kontra pemerintah yang disebabkan karena distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata, legalitas kepemilikan dan tidak tertibnya administrasi tanah yang diterbitkan oleh pemerintah serta putusan pengadilan yang berbeda – beda atas bidang tanah yang sama.

Asman menambahkan bahwa sengaja fokus ke perkebunan, karena menjadi penyumbang terbesar konflik agraria dibanding sektor ekonomi lainnya. Pada 2018 sebanyak 144 kasus di seluruh Indonesia atau setara dengan 35 persen, properti 32 persen, pertanian 13 persen dan sisanya industri lainnya.

“ Dari 144 letusan konflik, 83 kasus atau 58 persen terjadi di perkebunan sawit, apakah itu terkait tumpah tindih lahan dan perkebunan plasma. Kerugian yang timbul dari konflik ini, bagi masyarakat bisa mencapai Rp 41,7 juta per keluarga per tahun, sedangkan di sisi perusahaan mencapai angka 51 – 88 persen dari biaya operasional perkebunan per hektar per tahun,” jelas Asman.(hms4)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *